.

.
.

Sabtu, 22 November 2008

tenggarong


Tenggarong, Ibukota Kabupaten Kutai Kertanegera, yang luasnya 76,3 kilometer persegi ini terletak 45 kilometer sebelah barat Samarinda, Kalimantan Timur. Kota ini terkenal karena disebut-sebut sebagai lokasi kerajaan tertua di Indonesia, yaitu Kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke- 4 masehi.

Dilihat secara sepintas, Tenggarong tidak berbeda dibandingkan dengan ibukota kabupaten lainnya di Indonesia. Tata kota yang asri dan nyaman membuat penduduknya betah untuk tinggal di wilayah ini. Tidak heran, Tenggarong pernah menjabat beberapa kali penghargaan Adi Pura, penghargaan di bidang kebersihan untuk tingkat kota kecil.

Tenggarong menjadi buah bibir masyarakat sejak awal tahun 2001. Saat dicanangkannya otonomi daerah di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya mencapai angka 1,6 trilyun rupiah.

Suatu angka yang sangat mencengangkan untuk ukuran sebuah kabupaten yang jauh dari pusat pemerintahan negara. Namun hal ini tidak mengherankan, mengingat di Kabupaten Kutai Kertanegara terdapat berbagai sumber kekayaan daerah. Seperti tambang minyak, tambang batu bara dan hasil kayu dari hutan yang tersebar hampir diseluruh wilayah.

Barang tambang tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan daerah Kabupaten Kutai Kertanegara. Banyak hal yang dilakukan pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara untuk mengelola pendapatan sebesar itu. Salah satunya adalah mengalakan program Gerbang Dayaku (Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai).

Melalui program ini, pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara ingin meningkatkan kesejahteraan penduduknya dan menambah kekuatan sumber daya alam serta manusianya. Salah satu satu program dari Gerbang Dayaku adalah dengan mengucurkan dana bagi pembangunan desa, yang diambil dari anggaran pembangunan daerah yang dimulai pada tahun 2001.

Pada tahun itu, Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara mengucurkan dana 1 milyar rupiah bagi tiap desa yang akan disalurkan untuk pembangunan insfrastruktur desa. Pengadaan bibit tamanan dan hewan serta pinjaman untuk modal usaha.

Selain itu dana tersebut juga dianggarkan untuk pengembangan sektor pariwisata, yang dinilai menjadi daya tarik Kabupaten Kartanegara. Mereka berharap pariwisata di Kutai Kertanegara akan menjadi simbol kedua selain Bali bagi wisatawan mancanegara.

Terlebih dengan adanya Festival Terao yang diadakan setiap tahun. Dalam acara ini berbagai kesenian daerah dari seluruh suku yang ada di wilayah Kutai Kertanegara akan ditampilkan oleh penduduk sekitar.

Terao yang dalam bahasa Kutai berarti berkumpul merupakan salah satu acara sebagai pengucapan rasa bersyukur masyarakat Kutai Kertanegara, akan keberkahan dan kekayaan sumber daya alam yang diberikan Sang Pencipta.

Pendapatan daerah Kabupaten Kutai Kertanegara yang sangat besar itu, memicu pembangunan fisik di Tenggarong, Ibukota Kabupaten Kutai Kertanegara. Pembangunan berbagai infrastruktur yang menjadi penunjang perkembangan ekonomi digalakan.

Salah satunya adalah jembatan Kertanegara yang terbentang diatas Sungai Mahakam. Jembatan ini menghubungan wilayah Tenggarong Selatan dan Tenggarong Utara yang dibelah Sungai Mahakam. Jembatan ini juga menjadi jalur penghubung utama antara Tenggarong dengan Samarinda, Ibukota Provinsi Kalimantan Timur.

Pembangunan tidak saja ditekankan di bidang infrastruktur jalan. Berbagai gedung penunjang seperti untuk pemerintahan berdiri megah. Gedung pertemuan dan sejumlah hotel serta wisma dibangun sebagai salah satu sarana penunjang kenyamanan berbagai pihak yang mengunjungi lokasi ini.

Bidang pendidikan pun tidak luput dari perhatian pemerintah setempat. Sekolah tingkat dasar sampai tingkat tinggi dan universitas disediakan untuk mereka yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan secara cuma-cuma. Di sini siswa dan mahasiswa tidak dipunggut biaya apapun selama menuntut ilmu. Bahkan mereka diberi beasiswa yang besar dan berfareasi.

Kemudahan yang diberikan tidak saja berlaku bagi murid atau mahasiswa. Setiap guru, baik yang berstatus guru tetap maupun honorer yang mengajar di wilayah Tenggarong, diberikan sebuah sepeda motor untuk memperlancar tugas mereka.

Walaupun proses moderenisasi terus dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara, tidak lupa juga untuk memperhatikan bidang pariwisata. Berbeda dengan daerah lain, pembangunan pariwisata di wilayah ini terbagi dua. Yaitu pariwisata modern dan pariwisata alam.

Pariwisata modern ditunjukkan dengan pembangunan Pulau Kumala. Sebuah pulau kecil seluas 76 hektar yang berada di tengah-tengah Sungai Mahakam. Walaupun awalnya tidak banyak warga yang merasa optimis akan pembangunannya, namun ternyata perkembangan pembangunan Pulau Kumala ini cukup menajupkan. Patung Lembu Suwana yang melambangkan Kota Tenggarong berdiri megah di ujung pulau.

Sementara di ujung lainnya sebuah sky tower atau menara berputar menjulang ke angkasa. Alat untuk melihat pemandangan Pulau Kumala ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia.

Wahana kereta gantung juga dapat kita temukan di Pulau Kumala. Kereta gantung yang panjangnya sekitar 1 kilometer ini terbentang dari Pulau Kumala ketepian Kota Tenggarong. Dan untuk anak-anak berbagai permainan seperti bom bom car, arena mobil kecil atau gocar serta kereta mini disediakan untuk menambah ramai suasana.

Sedangkan bagi wisatawan dari luar Kota Tenggarong, tersedia resort yang terdiri dari 22 kamar hotel serta 21 cotage. Pembangunan pariwisata modern yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara tidak melupakan pariwisata alam.

Bukit Bangkirai yang hutannya masih perawan juga dikembangkan sebagai pariwisata alam. Berbagai pohon baik dalam ukuran besar maupun ukuran kecil terdapat di hutan ini. Ratusan jenis burung pun tampak di hutan seluas 1.500 hektar ini. Di Bukit Bangkirai ini wisatawan akan merasakan sensasi yang berbeda saat menaiki canobrige atau jembatan diatas pohon yang menjadi andalan daerah ini.

Dalam catatan pariwisata nasional, jembatan ini merupakan jembatan tajuk pertama di Indonesia dan ke 8 di dunia. Bukit Bangkirai diharapkan sebagai penyeimbang pembangunan di bidang pariwisata modern di Kabupaten Kutai Kertanegara. Yang dalam pembangunannya tidak jarang mengambil sebagian lahan hutan. Jangan sampai Bukit Bangkirai menjadi hutan terakhir di wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara.

Pembangunan fisik dan infrastruktur suatu wilayah memang kerap menyampingkan adat dan tradisi. Namun tidak bagi Kesultanan Kutai Kertanegara. Setelah dilebur selama puluhan tahun, Kesultanan kembali dihidupkan. Pada tahun 2001, Sultan Haji Aji Salahuddin II resmi dinobatkan sebagai Sultan Keraton Kutai Kertanegara.

Sultan Haji Aji Salahuddin II adalah sultan ke 20 menggantikan Sultan Pari Kesit yang mendirikan keraton kerajaan yang saat ini berubah fungsi menjadi Museum Mulawarman. Sultan Pari Kesit sendiri memerintah terakhir kali pada tahun 1959, saat dihapuskannya sistem pemerintahan Kesultanan oleh Pemerintah Pusat.

Sedangkan pencarian atau penggalian situs-situs juga terus dilakukan oleh Balai Arkeologi dan Balitbang Daerah, untuk mengetahui dan mengurai sejarah Kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke-4 masehi.

Memang belum banyak yang dapat diungkapkan dari hasil penelitian di situs Muara Kaman yang diduga menjadi pusat Kerajaan Kutai Mulawarman. Namun melalui penggalian dan penelitian ini, diharapkan dapat menjelaskan sejarah panjang Kerajaan Kutai Mulawarman. Hingga Kesultanan Kutai yang saat ini dipimpin oleh Sultan Haji Aji Salahuddin II.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai Kertanegara bukanlah untuk membangkitkan kembali fiudalisme yang kerap timbul dalam pemerintahan berbentuk kerajaan atau kesultanan. Justru dihidupkannya kembali Kesultanan ini, merupakan harta yang tidak ternilai harganya bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara.

Mereka diberi kewenangan untuk mengurusi kehidupan Kesultanan, terutama dalam memelihara atau mengembangkan tradisi serta adat dan kebudayaan keraton. Diharapkan transparansi Kesultanan ini akan mendekatkan masyarakat untuk lebih mengenal kehidupan keraton. Tanpa melalui sistem sesembahan dan puja-pujaan terhadap sultan.

Keluarga Sultan pun telah sadar akan perubahan pemahaman, bahwa Sultan bukanlah seseorang yang harus disembah-sembah. Penghormatan seperti itu sudah seharusnya ditinggalkan dan dilepaskan dalam budaya saat ini. Walaun demikian tokoh Sultan masih tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat.

Keberadaan dan perkembangan Kota Tenggarong serta Kabupaten Kutai Kertanegara memang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan Kerajaan Kutai Kertanegara masa yang lalu. (Sup)

Tidak ada komentar: